Libur Idul Fitri kali ini aku gunakan sebaik-baiknya. Aku mencoba untuk mendatangi keluarga sanak dan saudara untuk bersilaturahmi. Meskipun dengan pertemuan yang singkat itu tetap aku sempatkan untuk saling bermaafan. Maklumlah sebagai manusia
Sebetulnya semangat untuk bersilaturahmiku mulai luntur sejak ditinggal kakangku menikah. Orang yang selalu menemaniku bersilaturahmi telah membentuk keluarga kecil sendiri. Rasa malas dan ogah-ogahan ini yang selalu menghantuiku untuk enggan menginjakkan kaki luar rumah. Selain tanpa adanya teman yang membuatku enggan pergi yaitu ketakutan yang mendalam akan addanya serbuan pertanyaan -pertanyaan yang bervariasi dengan makna yang sama. "Kapan Nikah?". Yah kata sederhana yang menjadi momok bagi Barisan Pemuda Jomblo Setia (BPJS).
Namun untuk Lebaran tahun ini semangatku mulai membara kembali. Rasa untuk bersilaturahmi muncul berkobar-kobar dengan penuh semangat ketika aku membaca kata bijak "Sungkem maneh ben akeh sing dungakke".
Empat hari berturut-turut aku berusaha untuk berkeliling dunia ke rumah sanak saudara. Tetapi masih banyak yang belum sempat kudatangi. Hari kelima, saat tubuhku sudah harum mewangi, semerbak menebarkan aroma parfum tiba-tiba sms masuk ke hapeku. Tentunya bukan SMS dari operator.
Akhirnya aku putuskan untuk ikut dengan mereka dengan mengajak seorang cewek, Adikku. Kami menuju Telomoyo mengambil jalur dari grabak sehingga kami mampir dulu di SPBU Bedono untuk memenuhi isi tangki motor. setelah dikira cukup kami pun melanjutkan perjalanan ke arah Grabak.
Sebelum sampai di pasar grabag kami belok kiri mengambil arah ke Sekar Langit. Jalan sampai Sekar Langit masih lurus-lurus aja tetapi pemandangan disekitar sudah mulai nampak indah. Setelah melewati Sekar Langit barulah keterampilan mengendarai kita di uji, jalan mendaki yang berkelok-kelok dengan aspal yang mulus.
Waktu shalat dhuhur tiba saat kami sampai di depan pintu gerbang Telomoyo. Kumandang adzan yang biasa tapi menggoda mampu menuntun hati kami untuk ikut berjamaah shalat dhuhur di masjid terdekat. Waaawww airnya dingin banget padahal aku anak gunung juga lho, dan waktu siang bolong masih terasa banget dinginnya.
Setelah memasuki pintu gerbang dengan membayar Rp 5.000,- per motor petualangan pun dimulai. Jalan rusak yang berkelok-kelok membuat perasaan seperti ikut Trabas off road. Butuh nyali yang tinggi untuk sampai puncak. Sungguh tak terbayangkan sebelumnya kalau jalannya begitu sakit parah.
Di tengah perjalanan akhirnya aku menyerah. Jalan rusak yang begitu ekstrim membuat aku tak mampu melanjutkan perjalanan. Akhirnya salah satu temanku aku minta untuk menaklukkan medan dengan motorku.
Sesampainnya di atas kabut menyelimuti puncak. Pemandangan yang diidamkan hanya berbalut awan putih seolah-olah kami hannya memandangi dinding White House. Pengunjung yang semakin bertambah dan lokasi yang sangat sempit membuat kami semakin tidak nyaman.
Setelah mengambil beberapa adegan foto kami memutuskan untuk turun dengan pelan sambil menikmati keadaan. Mata kami tertuju pada pijakan yang berwarna biru. Kami pun mendekatinya dan ternyata itu adalah pijakan untuk paralayang. Disinilah kami mulai beraksi. Pemandangan disini lebih baik dibandingkan dengan yang di atas. Di sini kami bisa berpuas hati untuk berselfi ria.
Setelah puas kami pun berjalan pulang dengan menyempatkan diri untuk shalat ashar di masjid yang tadi. Kami pulang mengambil arah ke Getasan, kemudian berbelok ke arah Banyubiru. Mumpung masih dalam suasana idul Fitri kami pun menyempatkan diri untuk bersilaturahmi ke rumah guru SMA legendaris kami. Pak Kenang. Nah itu cerita aku ke telomoyo, gimana cerita kalian disini???
0 Comments
Posting Komentar
Silakan berkomentar dengan bahasa sopan dan mudah dimengerti